Asal-Usul Paganisme Kuno

Paganisme sebagai istilah memiliki sejarah panjang yang berawal dari komunitas Kristen di Eropa bagian selatan. Kata “pagan” sendiri berasal dari bahasa Latin “paganus” yang awalnya berarti “penduduk pedesaan” atau “orang desa”. Namun, penggunaan istilah ini untuk merujuk pada kepercayaan non-Kristen memiliki latar belakang yang lebih kompleks.
Pada mulanya, istilah “paganus” digunakan oleh gereja untuk membedakan orang Kristen sebagai “tentara Kristus” dan orang non-Kristen sebagai “kaum pagan”. Sepanjang abad ke-4-5 M, para penulis Kristen mulai mengasosiasikan paganisme dengan takhayul (superstitio) dan meredefinisi kata tersebut menjadi “penyembah berhala desa”. St. Agustinus dalam karyanya “Christian Theology, City of God, and On the Divination of Demons” serta Arnobius dalam “Adversus Nationes” menyebut kaum pagan sebagai politeis yang kontras dengan Kristen sebagai penyembah Tuhan.
Menariknya, sebelum persaingan dengan Kekristenan, kaum pagan tidak beragama dalam pengertian yang digunakan saat ini. Mereka tidak memiliki tradisi diskursus tentang hal-hal ritual atau keagamaan, tidak ada sistem keyakinan terorganisir, tidak ada struktur otoritas khusus untuk bidang keagamaan, dan tidak ada komitmen pada sekelompok orang tertentu selain keluarga dan konteks politik mereka. Paganisme lebih tepat dilihat sebagai suatu agama yang terbentuk dalam perjalanan sejarah dari abad ke-2 menuju abad ke-3 M, dalam persaingan dan interaksi dengan kaum Kristen, Yahudi, dan lainnya.
Meskipun paganisme sering diasosiasikan dengan politeisme, perbedaan utama antara kaum pagan klasik dengan kaum Kristen tidak sesederhana politeisme versus monoteisme. Tidak semua kaum pagan benar-benar politeis. Sepanjang sejarah, banyak dari mereka yang percaya pada dewata tertinggi, meskipun kebanyakan juga percaya pada dewata/daimon yang lebih rendah atau emanasi ilahi.
Menurut Graham Harvey, pagan bukanlah sebuah kepercayaan atau agama, melainkan kultur sekelompok tertentu yang mempercayai bahwa seluruh unsur alam memiliki kekuatan magis dan sakral. Puncak kepercayaan pagan adalah doktrin bahwa semua unsur material alam memiliki “sesuatu kekuatan” di baliknya dalam bentuk “spirit” atau roh, dan roh itu merupakan manifestasi dari Dewa dan Dewi. Kaum pagan mempercayai Dewa dan Dewi sebagai “creator” yang kompeten mengatur dimensi alam yang dibidanginya, seperti musim, kesuburan tanah, keberuntungan, hingga stabilitas kehidupan alam dan manusia.
Dalam praktiknya, kaum pagan menjadikan alam lingkungan hidup sebagai bagian tidak terpisahkan dari religiositas mereka. Penting untuk dicatat bahwa kaum pagan tidak memercayai setan sebagaimana dideskripsikan oleh orang-orang Kristen. Ketika merayakan upacara pengorbanan, itu bukan menunjukkan bahwa mereka percaya kepada setan, melainkan sebuah resolusi untuk memelihara hubungan atau mengakhiri konflik dengan entitas non-manusia yang berada di alam.
Paganisme dapat ditemukan di berbagai belahan dunia dengan karakteristik yang unik di setiap wilayah. Pada zaman prasejarah, manusia mulai mengembangkan kepercayaan animistik yang menganggap bahwa semua benda di alam memiliki roh atau jiwa. Mereka juga mulai menyembah dewa-dewi yang terkait dengan fenomena alam seperti matahari, bulan, hujan, dan kesuburan. Bukti arkeologis menunjukkan adanya praktik ritual dan pemujaan terhadap dewi-dewi kesuburan sejak zaman Neolitikum.
Dalam perkembangannya, paganisme berkembang menjadi sistem kepercayaan yang lebih kompleks dalam peradaban-peradaban kuno seperti Mesir Kuno dengan pantheon dewa-dewi seperti Ra, Osiris, dan Isis; Yunani Kuno dengan mitologi yang luas seperti Zeus, Athena, dan Apollo; Romawi Kuno yang mengadopsi banyak dewa Yunani dan menambahkan dewa-dewi lokal mereka sendiri; Nordik dengan pantheon yang mencakup Odin, Thor, dan Freya; serta Celtic dengan tradisi druidisme dan dewa-dewi alam.
Di Arab, sebelum datangnya Islam, masyarakat Arab Hijaz menganut paganisme yang serupa dengan peradaban Kana’an purba abad ke-14 SM dengan ilah-ilah (Tuhan) yang mengutamakan perang dan seks. Suku-suku Hijaz mewarisi peradaban paganisme dari suku-suku Arab yang bermukim di lembah Edom pada abad ke-10 SM.
Dengan munculnya agama-agama monoteistik, terutama Kristen, paganisme mulai mengalami tekanan dan penurunan di banyak wilayah. Banyak praktik pagan dilarang atau diserap ke dalam tradisi Kristen, meskipun di beberapa daerah terpencil, kepercayaan pagan tetap bertahan.